Selasa, 04 Maret 2014

Dwi Purnomo - Adenita - TN



Awalnya tidak ada bayangan bagi Dwi untuk menjadi seorang dosen. Pada waktu itu, di lingkungan keluarga Dwi jarang sekali yang mengecap bangku kuliah. Semua berlatar belakang pendidikan akademi. Almarhum ayah Dwi – yang meninggal saat usia Dwi 2 tahun – adalah polisi, sementara sang ibu sebenarnya adalah seorang perawat, namun pada waktu itu direkrut oleh kepolisian sehingga sang Ibu pun bekerja di bawah keluarga besar polisi. Sejak saat itu, profesi pilihan yang tampak terlihat di keluarga Dwi hanyalah menjadi polisi. Sementara sejak kecil, Dwi tidak ingin mengikuti jejak yang sudah ada. Sejak duduk di bangku SMA, yang terbayang dalam benaknya adalah ia ingin menjadi seorang guru.

Jejak langkahnya di dunia Teknik Pertanian bermula dari arahan orang tua salah seorang sahabatnya. Saat UMPTN tahuin 1998, Dwi memilih jurusan Teknik Pertanian. Namun, ternyata Teknik Pertanian itu bukan bercocok tanam seperti yang Dwi bayangkan, melainkan lebih ke arah teknik seperti merancang mesin, tata guna lahan, irigasi, bangunan, dan segala yang berhubungan dengan teknik. Saat itu, Dwi merasa salah jurusan, tapi justru perasaan salah jurusan itulah yang membuatnya ingin cepat lulus dan membawa sebuah berkah untuknya. Tidak betah berlama- lama di kampus membuat Dwi saat itu hidup dari uang saku beasiswa, mencari pekerjaan yang berbeda dengan yang digelutinya di kampus, Penyiar Radio.

Pada saat itu, Dwi merasa profesi penyiar bisa menjadi katalisator hidupnya. Selain itu, siaran merupakan salah satu sumber penghasilan Dwi untuk membiayai biaya operasional pendidikannya. Meski jadwal siarannya padat, Dwi tetap bisa fokus pada kuliahnya. Ketekunannya dalam mengerjakan sesuatu telah menghasilkan buah yang manis. Dwi berhasil lulus kuliah dengan baik, sementara kariernya di dunia radio juga berjalan gemilang, namanya semakin dikenal.

“Orang itu memang harus cerdas, tapi yang lebih baik orang itu harus tekun. Tekun itu membuakan kecerdasan”.

Setelah menjadi sarjana, Dwi masih ingat niatnya untuk menjadi guru, itulah sebabnya ia sangat bersemangat melanjutkan sekolahnya ke S2 sambil terus siaran di radio Rase FM Bandung.

Setelah lulus S2, Dwi melamar menjadi dosen dengan sebuah perasaan dilematis. Pasalnya , saat itu, Dwi diterima di sebuah bank swasta ternama dengan tawaran gaji 10 juta rupiah. Pilihan lainnya, sebuah perusahaan jasa konstruksi bangunan menawari Dwi gaji sebesar 18 kali dalam setahun dengan angka yang sukup memikat. Pilihan hidup yang meresahkan bagi Dwi yang menjadi tulang punggung keluarganya. Angka yang menggiurkan untuk sya


rat sebuah kesejahteraan, tapi seolah ada teriakan keras dari jiwanya, sebuah panggilan yang mendesak hatinya untuk berkata lantang tentang pilihan hidupnya. Dwi lalu meminta pertimbangan ibunya dan dengan khusyuk mendengarkan suara hatinya.

“Sebenarnya itu pencarian lama, ada beberapa dosen yang saya tanyai. Bahkan ketika jadi PNS pun, saya masih terus bertanya pada beberapa dosen : ‘Pak, apakah pilihan saya benar?’ Pertanyaaan kedua , apakah saya bisa hidup dari dosen? Itu pertanyaan yang crucial karena teman – teman saya sudah melanglang buana, kehdupannya sangat luar biasa, duitnya banyak, dan lain – lain. Sementara, kondisi sosial kita selalu underestimate, kamu tuh PNS, kamu tuh dosen, kehidupan kamu akan standar, jadi itu pertentangan bathin. Yang meyakinkan itu balik lagi sama ibu. Apa yang kita lakukan akan berhasil kalau ada restu dari orang tua. Jadi, berpegang pada hal itu saja”.

Pilihan hidup sudah diambil. Dwi menjalani hari – harinya sebagai seorang dosen sambil terus menunaikan keahlian lainnya yang sudah dipupuknya sejak di bangku kulah, siaran. Menjadi dosen sekaligus penyiar membuat kemampuan otak kiri dan otak kanan Dwi bekerja optimal. Menjadi penyiar ternyata sangat membantu Dwi meningkatkan kemampuan berbicara, menjelaskan sesuatu, memaparkan imajinasi dengan lisan, termasuk membuat hal yang sulit menjadi mudah dimengerti oleh orang lain.

“Sangat sulit bagi dosen untuk menjelaskan, tapi bagaimana pelajaran yang sulit jadi terasa mudah itu butuh skill”.

Kini, Dwi sudah 6 tahun menjadi seorang dosen dan 10 tahun menjalani kehidupan sebagai seorang penyiar. Mengajar membuat jiwa Dwi bergelora dan bersemangat. Itulah salah satu alasannya mengambil S3 di tengah jadwal mengajarnya yang padat, meski harus menempuh rute Bandung – Bogor. Dwi ingin membekali dirinya dengan ilmu agar ia bisa menjadi dosen yang mumpuni bagi mahasiswanya.

Kelihaian Dwi membagi waktu untuk mengajar, siaran, mengerjakan disertasi, tentu bukan hal mudah. Manajemen waktunya yang  rapi merupakan hasil kerja keras dan kedisiplinan Dwi yang tinggi dan hal ini diakui oleh mahasiswanya karena selalu mau berbagi cerita di luar urusan akademis. Ia juga selalu tiba lebih dulu di kelas dan sabar menunggu kelasnya dimulai tepat waktu. Cara mengajarnya unik. Materi kuliah tertulisnya sudah ia posting di blog www.labsistemtmip.wordpress.com dan bisa diunduh oleh mahasiswanya. Di ruang kuliah, mahasiswa diminta untuk menutup buku dan fokus pada apa yang ia sampaikan sehingga bisa menghadirkan suasana belajar yang interaktif.



Dwi juga selalu berusaha mengerahkan seluruh kreativitas agar mahasiswanya bersemangat belajar; menciptakan reward dan punishment berupa hadiah pada mahasiswa terbaik, entah itu berupa buku – buku hingga dibebaskan dari UAS. Apa yang dilakukan Dwi terbuti ampuh, membuat setiap mahasiswa berusaha keras berlomba jadi yang terbaik demi mendapatkan free pass final test. Pengumuman siapa yang mendapatkan tiket gratis UAS itu biasanya diumumkan seketika sebelum UAS dimulai. Jadi, mahasiswa tetap harus belajar.

“Nilai itu bukan dari hasil, tapi dari proses. Menilai seseorang itu nggak bisa cuma dari hasil, siapa tau dia sakit, nilainya drop. Dari proses, dari mulai keaktifan dia, soft skill dia, kemauan dia untuk belajar, punya track record. Yang paling penting itu, dosen jangan menilai mahasiswa dari nilai saja. Komponennya itu ada beberapa bobot, jadi nilai akhir sama proses selama 6 bulan itu juga harus dinilai”.

Tidak hanya mengajar, Dwi juga rajin berbagi ilmu dan pengatahuan melalui blog www.agroindustry.wordpress.com. Semangat menulis itu ingin ia tularkan kepada mahasiswanya. Karenanya, Dwi mengharuskan mahasiswanya memiliki blog dan mengasah kemampuan menulis mereka. Untuk hal ini, Dwi juga tidak segan memberikan penghargaan bagi mahasiswanya yang memiliki blog terbaik. Ia mengganjar dengan sebuah tablet pc yang ia beli dari kocek pribadi. Bagi Dwi, menjadi sebuah kepuasan tersendiri yang tak ternilai ketika mahasiswanya berlomba meningkatkan diri dan kemampuan. Tak selalu harus ada hadiah, Dwi meyain jiwa kompetitif di masa kuliah akan menjadi mental yang tertanam di dunia kerja.

Di setiap akhir sesi perkuliahan, Dwi uga selalu membuat renungan sederhana untuk mahasiswanya. Renungan itu menjadi sebuah bagian penting dari aktivitas mengajarnya, karena di situlah ia bisa menyisipkan idealisme dan nilai – nilai kehidupan pada mahasiswanya.

“Saya ingin mengajarkan pada mahasiswa agar menjalani hidup itu saling memberi dan tidak serakah. Kita hidup itu dengan orang banyak”.

Di kampus, Dwi memang mendedikasikan waktunya untuk mengajar dan mahasiswanya. Meskipun akhirnyas ia banyak kehilangan jam makan siang selama jadi dosen karena banyak mahasiswa datang ke ruangannya untuk berdiskusi bukan hanya soal mata kuliah saja, tetapi tentang kehidupan.

Motivasinya itu sangat berarti bagi mahasiswanya. Dwi begitu bangga ketika beberapa mahasiswanya sudah mulai mau sekolah S2, walaupun tanpa bekal ekonomi yang cukup. Dengan berbekal keyakinan yang kuat, Dwi membantu menjabarkan langkah – langkah bagi mahasiswanya untuk bisa mendapatkan beasiswa dan proyek – proyek dari dosen untuk membiayai kuliah S2 seperti yang dilakukannya dulu. Ia selalu berpesan pada mahasiswanya agar jangan menjadikan alasan finansial sebagai hambatan untuk meraih impian mereka.
“Finansial itu jadi momok luar biasa, jadi alasan luar biasa, membutakan mind set. Nggak boleh seperti itu. Harus yakin bahwa Tuhan itu Mahamencukupkan. Selalu ada rezeki buat kita, kalau kita yakin. Jadi kalau yakin, pasti ada jalan. Yakin itu harus 100 persen. Kalau ada sedikit saja keraguan, maka gugurlah keyaknan itu. Tapi, untuk proses keyakinan itu butuh waktu panjang. Sepanjang usia kita”.

Dwi sangat yakin seorang dosen bisa punya banyak kesempatan untuk mengkloning kebaikan, semangat kebangsaan, semangat berbagi, semangat bersyukur, ikhlas, dan idealisme, bagi mahasiswanya selama di bangku kuliah. Empat tahun di bangku kuliah merupakan sebuah proses yang panjang dalam pembentukan sebuah karakter.

Idealisme bagi Dwi bukan barang klise. Sepertiya hal itu pua yang membuat Dwi memilih untuk terus mengajar dengan segala kondisi dan keterbatasan yang ada di Indonesia. Padahal jika ia mau, banyak tawaran menggiurkan yang bisa ia pertimbangkan, apalagi setelah ia lulus S3 dan menjadi doktor muda. Dwi yang melakukan penelitian di beberapa negara Asia itu pernah mendapat tawaran kontrak mengajar selama 2 tahun dari Malaysia dengan gaji sekitar 60 juta rupiah/bulan. Tergiur, sudah pasti. Tapi Dwi ingat kembali niat awalnya untuk mengajar dan bermanfaat untuk almamater dan Indonesia, dan justru hal itu malah membuatnya ingin membuktikan bahwa tanpa perlu ke luar negeri ia bisa menghasilkan pendapatan sebesar tawaran itu dengan ilmu yang sudah didapatkannya. Idealisme masih melekat kuat dalam jiwanya untuk menjadi bagian dari perubahan di Indonesia melalui mengajar. Baginya, apa yang didapatkannya saat ini sudah cukup.

“Kita harus punya keyakinan, Tuhan Maha Mencukupkan kalau kita mau. Semua harus dijalankan dulu. Ada kemauan, ada usaha, ada do’a dan niat. Miracle. Keajaiban. Percaya itu”.

Target selanjutnya adalah menjadi seorang profesor. Baginya, gelar profesor bukan hanya keilmuan,  tapi secara pribadi harus bia dan punya manfaat hidup yang jauh lebih besar.

Dwi mengaku sangat bangga dan bersyukur mendapatkan pekerjaan sebagai dosen. Rasanya ada kebahagiaan yang luber dalam hatinya ketika menemukan mahasiswa datang kepadaya setelah jam kuliah untuk bertanya sesuatu di luar mata kuliah. Ia juga selalu mendorong mahasiswanya untuk menghasilkan karya, apapun itu.

“Kita harus berkarya, terutama dosen. Jadi ketika orang mencari nama kita di google, bukan Cuma muncul di facebook, tapi karyanya itu harus keluar”.

Di tahun 2011, Dwi menginisiasi berdirinya Loopies Radio di kampusnya. Melalui Online Radio Streaming itu mahasiswanya bisa berekspresi dan mendapat kegiatan yang positif sambil mengerjakan tugas – tugas kuliahnya. Loopies radio seolah jadi obat bagi kepenatan mahasiswanya dan menjadi energi bagi mahasiswa untuk tetap bisa belajar dengan cara yang menyenangkan. Kecintaannya mengajar membuat Dwi selalu menciptakan inovasi yang datangnya dari hati.

*****
Ini adalah satu dari banyak hal yang kaya inspirasi yang terdapat dalam buku '23 Episentrum' karya Adenita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar